Senin, 18 Februari 2008

Kebijakan yang Menyengsarakan Rakyat

Reformasi yang bergulir sejak Mei tahun 1998, telah merambah pula konstitusi dasar negara. Melalui empat kali proses amandemen, isi UUD 1945 dikontekstualisasikan dengan semangat jaman. Prinsip demokrasi, penghargaan HAM, nilai kesetaraan (equity), keadilan dan kesejahteraan, menjadi lokus dalam melakukan amandemen. Namun demikian hasil akhir amandemen UUD 1945 (amandemen ke-4), subtansi pasal 33 tidak diamandemen tetapi justru diperkuat kerangka implementasinya melalui dua tambahan ayat (ayat 4 dan ayat 5). Artinya, konstitusi dasar negara tetap menghendaki untuk menjalankan kebijakan beorientasi kepada kepentingan sosial (publik) bukan menyerahkan pada mekanisme pasar. Dalam perspektif idelologis, negara kita tetap memilih ekonomi “sosial” bukan ekonomi pasar/liberal, (Kompas, 22-12-2004). Berangkat dari pijakan konstitusi dasar yang sudah jelas dan tegas memilih pada kebijakan yang beorientasi kepada kepentingan sosial (publik) ini, sekiranya dapat dipakai untuk menganalisis kebijakan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dipilih oleh pemerintah pada awal Maret yang lalu.
BBM adalah jenis komoditi yang sangat strategis. Bagi negara BBM merupakan sumber devisa untuk menopang Pendapatan Dalam Negeri (PDN), sedangkan bagi rakyat merupakan kebutuhan dasar yang diperlukan untuk aktivitas rumah tangga maupun ekonomi. Karena itu, setiap kebijakan pemerintah yang bersentuhan dengan komoditi BBM selalu memunculkan pro dan kontra. Sikap pro dan kontra ini terjadi terutama ketika menyikapi masalah, isu dan argumentasi kebijakan yang dibangunnya untuk memilih kebijakan subsidi BBM. Dalam perspektif analisis kebijakan publik tersedia beberapa tahap/langkah prosedural yang harus dikritisi, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa suatu kebijakan itu diperlukan atau perlu kebijakan lainnya.


Argumentasi Kenaikan BBM
Kebijakan pemerintahan SBY-Kalla untuk menaikkan harga BBM diawali oleh pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyatakan bahwa APBN negara terbebani berat oleh pemberian subsidi BBM yang diperkirakan mencapai Rp.63 trilyun, (Kompas, 2004). Solusi untuk mengurangi beban itu alternatifnya hanya satu, mengurangi subsidi BBM alias harga BBM dinaikkan. Ketika pernyataan ini dikemukakan oleh otoritas pemerintah seperti Wakil Presiden, sebenarnya pemerintah bukan lagi pada tahap merumuskan masalah yang mengharapkan respon dari publik. Tetapi pemerintah melakukan sosialisasi agenda kebijakan menaikkan harga BBM. Langkah pemerintah ini telah mendistorsi langkah-langkah perumusan masalah secara sepihak tanpa melibatkan publik atau para aktor di tingkat legislatif dan kelompok strategis lainnya. Sehingga yang terjadi adalah pemerintah telah mencapai tahap menemukan spesifikasi masalah (formal problem), sedangkan masyarakat sedang berada dalam tahapan mengakui “situasi bermasalah”. Kalau pemerintah agenda settingnya telah mencapai agenda kebijakan berapa persen kenaikan BBM itu dan bentuk kompensasinya formulasi seperti apa, nah masyarakat pada tahap tersebut baru merasakan bahwa harga BBM yang selama ini diterima ternyata “membebani” APBN, dan itu merupakan masalah bagi negara. Dalam konteks seperti ini nampak jelas bahwa apa yang dirasakan pemerintah sebagai masalah publik, bagi sebagian besar masyarakat hal tersebut bukan sebagai masalah. Perdebatan bukan dalam kontek mana masalah publik dan mana masalah privat, tetapi harga BBM yang berlaku sekarang ini bermasalah ataukah bukan sebagai masalah.
Ketika pemerintah berargumentasi bahwa kebijakan menaikkan harga BBM dilandasi oleh terbebaninya APBN oleh subsidi BBM, penolakan argumnetasi ini banyak terjadi. Publik sebenarnya meletakkan masalah utamanya adalah mengapa negara Indonesia yang kaya sumber daya alam di bidang gas, minyak dan hasil tambang lainnya, harus melakukan impor dari luar negeri. Kwik Kian Gie (mantan Menko Perekonomian di jaman Presiden Gus Dur dan kepala Bappenas di era Presiden Megawati) dengan tegas menolak argumen pemerintah, “keterangan pemerintah yang diberikan sebagai alasan adanya keharusan menaikkan harga BBM sangat menyesatkan. Sebenarnya, setinggi apa pun harga minyak dunia, pemerintah tidak perlu menambah biaya, bahkan pendapatan negara akan bertambah. Minyak mentah yang ada di perut bumi Indonesia ini adalah milik rakyat, jadi bangsa Indonesia tidak perlu membeli minyak mentah dari luar negeri”, (Kompas, 24 Desember 2004). Protes Kwik tersebut ingin mengingatkan kepada pemerintah bahwa sesungguhnya persoalan mendasar dalam bidang BBM itu bukan mengurangi subsidi, tetapi bagaimana efisiensi dan memaksimalkan produksi minyak mentah dalam negeri bisa dilakukan.
Senada dengan Kwik, anggota komisi XI DPR Dradjat Wibowo (dari fraksi PAN) menolak kenaikan BBM dengan argumen bahwa seharusnya pemerintah melakukan beberapa penghematan anggaran, misalnya pemerintah bisa menaikkan pendapatan dari penerimaan pajak dan cukai atas aktivitas ekonomi. Alasan pemerintah bahwa subsidi BBM yang mencapi Rp. 63 trilyun membebani APBN, menurut Dradjat sebenarnya jika dibandingkan sejak tahun 2001 justru mengalami penurunan, tahun 2001 subsidi BBM dari APBN mencapai Rp 68 trilyun. Kalau efektivitas bea dan cukai aktivitas ekonomi ditempuh, negara bisa mengumpulkan pendapatan Rp 300 trilyunan per tahun, belum jika produktivitas migas dimaksimal menjadi 1,2 juta-1,3 juta barel per hari maka impor minyak mentah akan dapat dikurangi, (Tempo Interaktif.Com, 13 Desember 2004). Argumen anggota DPR yang juga ekonom INDEF ini jelas mementahkan alasan pemerintah dalam menyusun agenda setting untuk menaikkan harga BBM.
Penolakan alasan pemerintah juga dilakukan oleh banyak elemen masyarakat. Begitu pernyataan Wapres itu dipublikasikan, demonstasi penolakan kenaikan BBM dari kalangan mahasiswa di berbagai kampus terus berlangsung. Pernyataan-pernyataan ini mererepresentasikan suara penolakan itu, “Gebrakan 100 hari SBY menghasilkan kenaikan BBM 40% lebih”, “BBM naik = SBY-Kalla turun”, BBM naik rakyat tercekik di musim paceklik, presidennya pembohong publik”, “Kenaikan harga BBM buah dari kapitalisme”, dan bahkan ada 9 ormas yang akan menggugat presiden karena telah melakukan kebohongan publik, (Dokumentasi Kompas, 2004). Bahkan dengan geram, Prof Dr Riswanda menentang kenaikan BBM tersebut dengan menyatakan bahwa logika pemerintah tidak nyambung dengan logika rakyat yang sedang mengalami berbagai kesulitan ekonomi, (Kedaulatan Rakyat, 29 desember 2004). Suara-suara penolakan dari kalangan mahasiswa, akdemisi dan elemen gerakan sipil itu menunjukkan bahwa “negara yang tidak peduli rakyatnya” sedang diperagakan oleh pemerintahan SBY-Kalla.
Benarkah konteks dan argumentasi kebijakan yang dipilih pemerintah berorientasi kepada kepentingan rakyat/publik (society oriented), ataukah argumentasi kebijakan itu dilatarbelakangi oleh kepentingan negara (state oriented) dalam konteks menjalankan kesepakatan dengan pihak ketiga/pengusaha atau luar negeri. Kesepakatan dengan pihak ketiga dapat diartikan pemerintah menyepakati kepentingan para pengusaha yang berinvestasi di negeri ini, dan negara berkepentingan untuk membuka kesempatan kerja, mengurangi pengangguran dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Selain itu yang lebih dominan lagi adalah kesepakatan pemerintah untuk menjalankan mekanisme pasar bebas (kesepakatan global), dan sebagai prasyarat mendapatkan hutang luar negeri dari IMF, World Bank, CGI, IDB dan lembaga donor lainnya.
Dis-orientasi kebijakan publik sebenarnya telah nyata terjadi dalam formulasi kebijakan di Indonesia. Sebelum memasuki pada analisis kebijakan subsidi BBM, contoh lain dis-orientasi kebijakan publik ini antara lain bisa dilihat dalam kasus regulasi ketenagalistrikan (UU N0 20 Tahun 2002) yang dibatalkan oleh Komisi Konstitusi karena pasal 16, 17 dan 68 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Melihat alasan Komisi Konstitusi tersebut, menjadi bukti bahwa dalam menyusun kebijakan publik para pembuat kebijakan lebih berorientasi kepada pasar dan kepentingan birokrasi negara dari pada masyarakat. Persoalan orientasi dalam formulasi kebijakan publik ini kalau menurut Grindle dan Thomas, (1991:96) terkait dengan kemampuan para pengambil kebijakan dalam merespon tekanan internasional (pasar bebas). Jika komitmen kita pada ekonomi sosial jelas dan tegas, mengapa kita harus kalah terhadap tekanan internasional yang memaksakan negara ini mengadopsi ekonomi pasar?
Setali tiga uang dengan UU No 20 tahun 2002, kenaikan BBM yang diberlakukan pemerintahan SBY-Kalla pada awal Maret ini juga menunjukkan dis-orientasi kebijakan publik. Jika dirunut kembali kontroversi yang terjadi pada rencana kenaikan harga BBM, pemicunya datang dari pemerintah (melalui pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla). Kasus rencana kenaikan harga BBM ini dalam pandangan teori kebijakan memperlihatkan bahwa pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla merupakan representasi atau perwujudan dari state-centered approach dalam rangka mengambil kebijakan menaikkan harga BBM. Ketika isu kenaikan harga BBM ini menjadi perdebatan publik, nampak bahwa dalam membangun argumentasi untuk merumuskan permasalahan/agenda setting pemerintah memakai pendekatan kepentingan negara (state interest approach). Asumsi yang dipakai oleh pemerintahan Indonesia Bersatu berbeda dengan asumsi yang dipakai masyarakat.

Bagaimana Kebijakan yang Peduli Rakyat?
Model kebijakan dibedakan menjadi dua, yaitu model kebijakan deskriptif dan model kebijakan normatif. Kebijakan menaikkan BBM dapat dikatakan menggunakan model kebijakan deskriptif, karena kebijakan kenaikan BBM memiliki alasan atau argumentasi bahwa kebijakan ini ditempuh sebagai sebab dan konskuensi dari pilihan kebijakan pemerintah yang mengintegrasikan tata niaga BBM ke dalam struktur pasar dunia yang liberal. Alasan munculnya suatu kebijakan sebagai sebab dan konskuensi dari suatu pilihan kebijakan sebelumnya merupakan tujuan dari model kebijakan deskriptif, (Dunn, 2003:234). Dengan memakai analisis model kebijakan seperti ini sebenarnya dapat diprediksikan sebab dan resiko yang harus ditanggung pemerintah ketika memilih kebijakan mengikuti arus pasar bebas yang liberal. Mengikuti sistem pasar bebas yang liberal konskuensinya adalah memilih kebijakan dimana dalam tata niaga BBM negara tidak “dibenarkan” memberikan subsidi, tetapi biarkan harga BBM mengikuti mekanisme pasar yang memnyediakan ruang kompetisi secara penuh. Kebijakan menaikkan harga BBM merupakan bentuk ketertundukan negara terhadap mekanisme pasar bebas yang liberal.
Persoalan yang sedang dihadapi bangsa ini berkaitan dengan distribusi BBM adalah dampak simultan yang kompleks dari akses dalam mendapatkan komoditi ini yang tidak bisa secara leluasa dan harga yang menjadi mahal. Harga BBM yang naik akan menjadi katalisator atau membenarkan para pedagang di sektor lain yang bersentuhan dengan kebutuhan pokok sehari-hari juga ikut-ikutan menaikkan harganya. Bahkan dalam kasus yang sekarang terjadi-sebagaimana telah terjadi sebelumnya-kenaikan harga BBM yang baru saja direncanakan, telah mendorong dan mensyahkan para pedagang menaikkan harga dagangannya. Situasi semacam ini yang menjadi momok bagi masyarakat, sehingga setiap ada kenaikkan harga BBM sekecil apapun persentasenya pasti memunculkan aksi penolakan. Penolakan kebijakan kenaikan BBM seperti sekarang ini muncul karena basis logika yang dipakai publik selalu mengkaitkan kenaikan harga BBM dengan menaikknya harga-harga komiditi lainnya (efek domino). Sementara pemerintah dalam membangun basis logika menaikkan harga BBM memakai logika linear-matematis yang mempercayai betul bahwa mekanisme “pasar yang berkompetisi secara sempurna” selalu terjadi. Logika publik yang tidak bertemu dengan logika pemerintah inilah yang menimbulkan kesan bahwa negara tidak lagi peduli pada rakyatnya.
Orientasi kebijakan publik yang diamanatkan konstitusi dasar negara (Pasal 33 UUD 1945) padahal telah jelas dan tegas, bahwa sistem ekonomi yang dipilih negara ini adalah sistem ekonomi pasar bebas yang sosial bukan sistem pasar bebas yang liberal, (Kompas, 22 Desember 2004). Lebih lanjut amanat tersebut ingin menyelenggarakan pelayanan publik (terlebih yang menyangkut hajat hidup semua orang) dengan mekanisme sosialis, yaitu negara melindungi, menjamin dan merealisasikan pemenuhan hajat hidup tersebut secara leluasa, terjangkau dan murah. Berdasarkan amanat ini maka alasan atau argumen pemerintah yang ingin menaikkan harga BBM karena menghindari beban berat yang harus dipikul oleh APBN, tidak sesuai dengan makna ekonomi pasar bebas yang sosial sebagaimana diamanatkan secara implisit oleh UUD 1945. Melalui analisis kebijakan yang menggunakan model deskripsi ini dapat diusulkan alternatif kebijakannya, yaitu menolak dan membatalkan rencana kebijakan kenaikkan BBM, tetap mengeluarkan kebijakan untuk memberi subsidi harga BBM secara maksimal, atau mengusulkan mengamandemen pasal 33 UUD 1945 agar sistem pasar bebas liberal yang dianut di negara ini.
Dalam memilih alternatif kebijakan, hanya alternatif kebijakan yang fisibel secara politik, anggaran, dan administratif yang perlu diperhatikan. Alternatif yang tidak sesuai dengan yurisdiksi dan kewenangan dari pembuat kebijakan tidak akan menarik untuk dipilih sebagai suatu kebijakan. Dengan kata lain bahwa kajian hanya perlu dilakukan untuk alternatif yang fisibel, supaya alternatif kebijakan tersebut mendapatkan legitimasi argumentasi yang lebih kuat, komprehensif dan dapat mengidentifikasi keterlibatan stakeholders secara partisipatif dan responsif. Faktor keterlibatan stakeholders ini penting diidentifikasi agar disain alternatif kebijakan yang akan diusulkan menjadi lebih partisipatif dan responsif dibandingkan kebijakan terdahulu.
Alternatif kebijakan yang pertama yaitu menolak dan membatalkan kebijakan menaikkan harga BBM, memiliki nilai fisibilitas dalam konteks politik, anggaran dan administrasi. Demikian juga alternatif kebijakan yang kedua yaitu tetap mengeluarkan kebijakan untuk memberi subsidi harga BBM secara maksimal. Alternatif yang kedua ini sesungguhnya lanjutan dari alternatif yang pertama, artinya jika alternatif yang pertama dipilih berarti alternatif kebijakan yang dijalankan dalam realitasnya adalah alternatif kebijakan yang kedua. Sedangkan alternatif kebijakan yang ketiga yaitu melakukan amandemen Pasal 33 UUD 1945. Amandemen ini bertujuan melakukan perubahan kebijakan secara paradigmatik sistem ekonomi pasar yang sosial dijadikan sistem ekonomi pasar yang liberal. Namun demikian alternatif ini secara politik akan mengalami inflasi, karena banyak politisi di parlemen sebenarnya secara konsep mempercayai dan menganut sistem ekonomi pasar yang sosial. Sebagai bukti adalah proses amandemen UUD 1945, meskipun berlangsung empat kali dan banyak aspek paradigmatik yang dibongkar dalam proses tersebut namun pasal 33 dan paradigma sistem ekonomi yang menganut pasas bebas sosial justru dipertahankan dan dpertegas dengan menambah dua ayat. Apalagi jika alternatif ketiga ini dilihat dari konteks fisibilitas anggaran dan administrasi, sulit sekali dapat direkomendasikan untuk dijalankan.
Fisibilitas alternatif kebijakan yang pertama dan kedua terkait erat dengan aspek paradigmatik, dan sisi kebutuhan yang dirasakan oleh publik. Publik dalam merespon rencana kenaikan BBM di awal Maret ini hampir satu suara, menolak dan mengharapkan negara melindungi/melakukan proteksi agar harga BBM dan kebutuhan pokok hidup sehari-hari dapat terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat terutama kelompok masyarakat yang miskin dan dimiskinkan. Kegelisahan publik terhadap kenaikan harga BBM ini sangat beralasan; pertama karena alasan paradigmatik yang menuntut negara berperan lebih maksimal dalam tata niaga BBM (sesuai jiwa dan semangat konstitusi dasar), kedua prediksi publik berdasarkan pengalaman selama ini bahwa kenaikan harga BBM berpengaruh sangat tinggi terhadap menaiknya harga-harga kebutuhan pokok hidup sehari-hari. Bahkan kenaikan harga-harga tersebut seringkali tidak sebanding dengan persentase kenaikan harga BBM, sehingga berdampak pada daya beli masyarakat (inflasi) yang menjadi rendah.
Banyak suara publik yang menyarankan agar membereskan persoalan efisiensi dalam tubuh institusi pengelola komoditi strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti Departemen Pertambangan dan Energi, Pertamina dan institusi operasional pendistribusian BBM. Efisiensi ini dimaksudkan untuk dilakukan audit terhadap kinerja produksi dan keuangan, karena disinyalir banyak bocoran atau pun inefisiensi yang dipraktekkan di institusi-institusi “basah” ini. Dengan melakukan audit kinerja produksi dan keuangan ini akan dapat diketahui pula, apakah benar-benar telah terjadi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan migas selama ini. Kebijakan ini akan lebih produktif bagi pemerintah dan menguntungkan bagi keuangan negara, serta meringankan beban masyarakat.
Efisiensi anggaran dalam bidang eksplorasi migas menurut Kwik Kian Gie masih terbuka lebar dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Menurut perhitungan mantan Menko Ekonomi di era pemerintahan Gus Dur ini, sebenarnya biaya pengadaan BBM di Indonesia hanya sekitar Rp. 540 per liter, itu sudah meliputi biaya untuk produksi minyak mentah, pengilangan dan biaya pengangkutan. Dengan harga seperti sekarang ini (premium sebesar Rp. 1810, pemerintah telah untung banyak), semua itu dengan catatan harus ada perombakan dalam kinerja dan keuangan Pertamina dengan harapan produksinya dapat dimaksimalkan sehingga tidak ada ceritanya negara kita ini mengimpor minyak mentah dari luar negeri. Apalagi suara publik seperti yang datang dari kelompok Partai rakyat demokratik (PRD) yang menuntut negara untuk tidak usah bayar hutang dan melakukan pemotongan anggaran untuk perjalanan dinas, tunjangan jabatan dan pengadaan fasilitas yang tidak mencerminkan sama sekali produktivitas negara berpenghutang besar di dunia ini. Termasuk juga suara dari kalangan mahasiswa dan masyarakat yang menghendaki dibongkarnya kasus-kasus korupsi “maha besar” di negeri ini, agar kerugian negara bisa dikembalikan dan dapat untuk menyuntik APBN. Suara yang menarik dari ekonom seperti pentingnya menaikkan pendapatan dari pajak dan cukai bagi aktivitas ekonomi, yang masih memungkinkan negara untuk mendapatkan sekitar Rp 300 trilyun, adalah gagasan yang patut dipertimbangkan, (Tempo Interaktif.Com, 13 Desember 2004).
Argumentasi-argumentasi yang disuarakan oleh publik tersebut seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan menjadikannya sebagai agenda setting kebijakan dalam mengurai permasalahan utama negeri ini, yaitu menaikkan pendapatan APBN. Jadi, sebenarnya yang menjadi masalah yang penting diperdebatkan dalam ranah publik adalah bagaimana meningkatkan sumber-sumber pendapatan dalam negeri (PDN) untuk menyangga APBN yang semakin besar. Sehingga kalau permasalahannya dalam arena sumber pendapatan, maka agenda setting kebijakannya mengarah kepada alternatif-alternatif yang disuarakan publik di atas.
Dengan kata lain dalam rekomendasi studi analisis kebijakan mengenai rencana kenaikan BBM ini, (1) batalkan rencana membuat kebijakan untuk menaikkan harga BBM atau menurunkan subsidi BBM), (2) mulai kebijakan baru di bidang penggalian sumber-sumber pendapatan negara (PDN). Dengan melibatkan partisipasi dan mendengar aspirasi seluruh komponen bangsa, proses kebijakan dibuat mulai dari perumusan maslah, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Dengan mengambil lokus permasalahan di penggalian sumber-sumber pendapatan hasil APBN akan kuat, sehingga sesuai dengan amanat konstitusi dasar negara (pasal 33 UUD 1945) subsidi pemerintah terhadap BBM tetap dilakukan secara maksimal.